Perempuan dianggap sebagai
pelengkap hidup laki-laki, padahal perempuan dalam keseharian dan lingkungan
sangat berperan penting. Belum tentu laki-laki bisa
melakukannya secara umum, tetapi tetap saja perendahan terhadap kaum hawa terus berlangsung. Hal ini sangat bertentangan sekali dengan kenyataan yang sangat ril
disekitar kita.
Di zaman sekarang ini, perempuan mulai menunjukan bahwa mereka juga mmpu melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Malah sekarang ini, perempuan menjadi ujung
tombak dalam urusan memimpin keluarga. Contohnya, banyak perempuan pergi bekerja
keluar negeri
menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita)
sementara suaminya berleha-leha. Belum
lagi selepas pulang ke tanah air suaminya sudah tampak
dengan istri baru, betapa tidak kecewanya perasaan seorang perempuan.
Perihal
peristiwa
seperti itu, penulis punya cerita sendiri: tetangga sebelah awalnya menikah dengan seorang janda yang kebetulan belum mempunyai anak. Setelah menikah dan mempunyai anak laki-laki satu, istrinya pergi menjadi bekerja ke luar negeri. Selang beberapa tahun setelah
janda itu pulang, dia malah diceraikan. Alasan
si laki-laki adalah karena dia merasa kurang dimengerti oleh istrinya.
Yang menyedihkan,
belum lama bercerai laki-laki tersebut sudah mendapatkan calon istri
lagi, sebagai tambahan, dia masih perawan. Mungkin
dia sudah berhubungan lama dengan perempuan baru ini. Masak sih baru bercerai sudah mau menikah lagi. Akhirnya laki-laki ini pun menikah
lagi dan akhirnya sama ceritanya dengan istri pertama.
Sesudah mempunyai
anak satu,
istrinya pergi bekerja ke luar negeri dan bisa
ditebak, setelah dia pulang lalu diceraikan. Tidak cukup sekali hal ini berlangsung beberapa kali,
banyak orang yang jadi korban laki-laki seperti itu.
Dari peristiwa yang amat dekat
tersebut, penulis berfikir betapa perempuan amat direndahkan di depan kuasa kaum Adam. Tidak
terlintas dalam benak mereka untuk menghargai
martabat perempuan. Padahal laki-laki dilahirkan oleh kaum hawa dan
proses melahirkan itu adalah pertarungan antara hidup dan mati.
Di jaman sekarang,
di pelosok desa banyak perempuan rela pergi keluar
negeri hanya
untuk menaikan derajat keluarganya.
Entah yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Pengorbanan
dan keberanian mereka tetap tidak merubah asumsi masyarakat bahwa perempuan
adalah makhluk lemah. Jadilah mereka masih trus dikerdilkan,
dimarginalkan, bahkan dianggap penggoda
suami orang. Asumsi dan stigma
demikian merasuki masyarakat, menjadi doktrin turun temurun, menjadi paradigm, dan pada akhirnya memperlakukan perempuan seperti barang menjadi lumrah.
Perempuan
sangat jarang memperoleh kedudukan terhormat di tengah masyarakat. Sedikit sekali yang bisa menembus memperoleh
utuh jatidirinya sebagai seorang perempuan. Hal
demikian meniscayakan kesadaran bersama masyarakat
bahwa perempuan sama sempurnanya dengan laki-laki, oleh karena itu
mereka punya derajat yang sama.
Perempuan terus menjadi korban atas
asumsi masyarakat yang patriarkhi. Wilayah hidup perempuan
berkutat hanya pada pusaran segitiga sumur, dapur, dan
kasur. Reduksi dan distorsi peran yang sangat konyol dan
memuakan. Tidak
sedikitpun perempuan mau seperti itu. Perempun
mana yang tidak perlu menaikan setatusnya. Bahkan bila perlu perempuan memperoleh haknya yang sama dengan laki-laki.
Tiliklah dalam lingkungan kita sekarang apakah kita
tidak merasa bahwa perempuan juga makhluk yang sempurna? Tidak ada satu pun kekurangannya. Perempuan menjadi penyempurna
laki-laki, begitupun
sebaliknya. Bukan hanya perempuan yang menjadi penyempurna, karena tanpa sadar stigma
tersebut merendahkan perempuan. Perempuan seolah-olah hanya menjadi pendamping laki-laki. Kata-kata
itu sangat mencederai kaum perempuan.
Sampai saat ini di kampung-kampung, hak perempuan ter-kerangkeng
asumsi-asumsi masyarakat. Banyak sekali pernyataan bahwa
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, cukup sampai
SMA. Hal ini sangat kontras jika
melihat perempuan kota. Mereka sudah banyak yang kuliah tetapi tetap saja derajatnya juga
belum naik. Pelecehan yang bertubi-tubi terus saja dialamatkan kepada kaum
perempuan. Perempuan sangat tidak
aman. Hingga saat berjalan malam pun mereka enggan, juga karena asumsi masyarakat yang merendahkan perempuan yang berjalan sendirian di malam hari.
Apakah keutuhan seorang perempuan dilihat dari prilakunya yang manut? Tidak keluar malam, berdandan serba tertutup. Orang-orang demikian itu memberikan gambaran bahwa bangsa ini hanya bangsa yang mengolok-olok dirinya
sendiri tanpa mau saling meninggikan derajat orang lain.
Dalam diri perempuan, baik fisik maupun non-fisik banyak yang dikuras
habis entah itu tenaga atau perasaannya. Hukum sosial banyak memposisikan perempuaan sebagai korban arogansi laki-laki. Asumsi masyarakat beredar asih
saja mencerminkan cara berfikir yang kerdil. Mereka tidak memandang kaum Hawa sebagai kehadiran yang niscaya sebagai manusia.
Dalam kehidupan sosial, dalam pembagian peran
kerja di masyarakat, perempuan bisa melakukan apa yang dilakukan oleh
laki-laki. Begitupun sebaliknya, karena peran ini sesungguhnya tidak ada
ke-baku-an, semuanya bisa saling bertukar. Tidak
perempuan saja yang memasak tetapi laki-laki
juga bisa. Tidak laki-laki saja yang kerja keluar rumah,
perempuan juga bisa.
Sayangnya sejak kecil, kita sudah
dicekoki oleh ajaran yang merendahkan dan menomorduakan perempuan. Sejak masih
belajar dan ngaji di tajug-tajug kita
sudah diajarkan bahwa Ibu Hawa diciptakan oleh Allah hanya untuk memenuhi
keinginan dari Adam. Sehingga fungsi dari perempuan hanyalah sebagai pemenuh kebutuhan
laki-laki saja.
Jauh di lubuk hati terdalam, laki-laki sebenarnya
menyadari bahwa perempuan itu setara
dengan laki-laki, keduanya sama-sama manusia. Akan tetapi karena egolah, laki-laki membatasi dan
memperlakukan perempuan seenaknya. Usaha untuk membuat
kesadaran ini bertolak adalah dengan mengutamakan
kesadaran dalam hati nurani. Kembali pada inti tertinggi dan terdalam dalam
diri manusia. Sehingga diperoleh kesadaran bersama bahwa semua manusia itu sama di mata Tuhan, tidak memandang itu laki-laki ataupun perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar